QILIN: TOLERANSI KEBERAGAMAN SEBAGAI IDE PENCIPTAAN KARYA KERAMIK SENI
DESKOVI : Art and Design Journal
View Archive InfoField | Value | |
Title |
QILIN: TOLERANSI KEBERAGAMAN SEBAGAI IDE PENCIPTAAN KARYA KERAMIK SENI
|
|
Creator |
Wicaksana, Abibawa
|
|
Subject |
penciptaan seni; keramik; qilin, toleransi
|
|
Description |
Indonesia merupakan negara dengan masyarakat yang majemuk yang memiliki berbagai ras, agama, suku, kebudayaan, dan lain sebagainya. Meskipun demikian, hingga hari ini kabar mengenai perilaku intoleran masih sering ditemui. Kejadian-kejadian intoleran tersebut pada umumnya dialami oleh mereka yang memiliki ras, suku, keyakinan, kebudayaan, pola berpikir, pilihan politik, ataupun kondisi fisik yang berbeda. Sebagai respons terhadap permasalahan tersebut, muncul keinginan untuk menciptakan karya yang berkaitan dengan Bapak Pluralisme Indonesia atau Gus Dur. Dikarenakan salah satu hasil perjuangannya melawan intoleransi adalah pengembalian hak etnis Tionghoa, maka karya yang kemudian tercipta adalah karya-karya dengan objek yang berasal dari kebudayaan Tionghoa. Sebagai hasil, tercipta dua karya keramik terakota dengan qilin sebagai objeknya. Pemilihan qilin tersebut tidak hanya dikarenakan ia merupakan makhluk mitologi dari kebudayaan Tionghoa, tetapi juga dikarenakan kaitannya dengan kisah kelahiran Konfusius, nabi agama Konghucu. Supaya konsep toleransi dengan mengangkat penghapusan intoleransi yang dialami etnis Tionghoa di Indonesia tidak hilang, qilin pada karya ini juga dibuat dalam kondisi tidur. Kondisi tersebut dibuat sebagai tanda bahwa si hewan mitologi ini sedang tenang, terbebas dari ancaman larangan yang pernah dialami oleh etnis Tionghoa di Indonesia dari tahun 1967 hingga tahun 2000.Indonesia is a country that has a large variety of races, religions, ethnicities, cultures, etc., within its people. Even though it is a pluralistic country, having something like a different race, ethnicity, belief, culture, mindset, political choice, or even physical conditions can still be an issue. As a response to this problem, I then created two artworks as a reminder about the legacy of Indonesia’s third president who is known for his fight against discrimination, Abdurrahman Wahid. Since one of his most known legacies is the removal of the Chinese ban in Indonesia at year 2000, the model used in the creation of the artworks is from a myth in Chinese traditions. As a result, two qilin terracotta ceramic artworks were created. The qilin was used not only because it’s a Chinese mythological creature, but also because of its relation to the legend of the birth of the Chinese philosopher who’s also known as the prophet of the Confucianism, Confucius. To express the freedom due to the ban removal, the qilins in these artworks were then made sleeping. This position was used to make these mythological creatures look relaxed, or in other words, look like it’s free from the predator that preys on it from year 1967 to year 2000.
|
|
Publisher |
Universitas Maarif Hasyim Latif
|
|
Contributor |
—
|
|
Date |
2020-12-03
|
|
Type |
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion Peer-reviewed Article |
|
Format |
application/pdf
|
|
Identifier |
https://e-journal.umaha.ac.id/index.php/deskovi/article/view/809
10.51804/deskovi.v3i2.809 |
|
Source |
DESKOVI : Art and Design Journal; Vol 3, No 2 (2020): DESEMBER 2020; 134-140
2655-464X 2654-5381 |
|
Language |
eng
|
|
Relation |
https://e-journal.umaha.ac.id/index.php/deskovi/article/view/809/666
|
|
Rights |
Copyright (c) 2020 Abibawa Wicaksana
|
|