REKONSTRUKSI IJTIHĀD DALAM ILMU UṢŪL AL-FIQH
Al-Ahkam
View Archive InfoField | Value | |
Title |
REKONSTRUKSI IJTIHĀD DALAM ILMU UṢŪL AL-FIQH
|
|
Creator |
Rokhmadi, Rokhmadi
|
|
Description |
Al-Qur’an and Sunnah, needs of understanding and extracting optimally, so that the contents of law can be applied for the benefit of people. The way- to understand and to extract the contents in these two sources- called ijtihād. Thus, ijtihād is needed on istinbāṭ of law from many arguments of the texts (naṣ), eventhough it is qaṭ’ī in which the uṣūliyyūn have agreed that it is not the area for re-extracting to the law (ijtihādiyyah). The problem in this case is that even a qaṭ’ī argument according to the most of uṣūliyyūn has not been qaṭ’ī argument in the other uṣūliyyūn opinion. Reconstruction of ijtihād becomes an alternative, with some considerations: First, weight and tightening the requirements to become a mujtahid, which is almost impossible controlled by someone at the present time; Second, the increasing complexity of the problems faced by the ummat which is very urgent to get the solution; Third, let the period without ijtihād (vacuum of mujtahid) is contrary to the basic principles of Islamic law are always sāliḥ li kulli zamān wa makān. This paper present to discuss further about the urgency of the reconstruction of ijtihād in the challenge of modernity.***Al-Qur’an maupun sunnah sangat membutuhkan pemahaman dan penggalian secara optimal agar isi kandungan hukumnya dapat diterapkan bagi kemaslahatan umat. Cara untuk menggali dan mengeluarkan isi kandungan yang ada dalam kedua sumber tersebut dinamakan ijtihād. Ijtihād sangat dibutuhkan pada setiap istinbāṭ hukum dari dalil naṣ, sekalipun dalil naṣ tersebut bersifat qaṭ'ī yang oleh para uṣūliyyūn sudah disepakati tidak menjadi wilayah untuk dijitihadi lagi. Permasalahannya adalah bahwa sesuatu dalil naṣ yang sudah bersifat qaṭ'ī sekalipun oleh sebagian besar uṣūliyyūn, belum tentu dipandang qaṭ'ī oleh sebagian uṣūliyyūn yang lain. Rekonstruksi ijtihād menjadi sebuah alternatif, dengan beberapa pertimbangan: Pertama, berat dan ketatnya persyaratan-persyaratan menjadi seorang mujtahid, yang hampir tidak mungkin dikuasai oleh seseorang pada masa sekarang; Kedua, semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh ummat yang sangat mendesak untuk mendapatkan solusi; Ketiga, membiarkan satu periode tanpa ijtihād (kevakuman mujtahid) adalah bertentangan dengan prinsip dasar hukum Islam yang selalu sāliḥ li kulli zamān wa makān. Tulisan ini hadir untuk mendiskusikan lebih jauh tentang urgensi rekonstruksi ijtihād dalam menghadapi tantangan modernitas.***Keywords: ijtihād, qaṭ'ī, ẓannī, uṣūl al-fiqh
|
|
Publisher |
Faculty of Sharia and Law, Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang
|
|
Contributor |
—
|
|
Date |
2012-10-11
|
|
Type |
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion Peer-reviewed Article |
|
Format |
application/pdf
|
|
Identifier |
https://journal.walisongo.ac.id/index.php/ahkam/article/view/9
10.21580/ahkam.2012.22.2.9 |
|
Source |
Al-Ahkam; Volume 22, Nomor 2, Oktober 2012; 161-176
2502-3209 0854-4603 |
|
Language |
eng
|
|
Relation |
https://journal.walisongo.ac.id/index.php/ahkam/article/view/9/79
|
|
Rights |
Copyright (c) 2016 AL-AHKAM
|
|