MAKNA FILOSOFIS UBORAMPE DAN PROSESI TEMU MANTEN DI JAWA
Jurnal Ilmiah Spiritualis: Jurnal Pemikiran Islam dan Tasawuf
View Archive InfoField | Value | |
Title |
MAKNA FILOSOFIS UBORAMPE DAN PROSESI TEMU MANTEN DI JAWA
|
|
Creator |
Thoriqul Aziz
Ahmad Khoiri |
|
Subject |
filosofis uborampe, temu manten
|
|
Description |
Upacara pernikahan adat Jawa memiliki makna filosofis yang unik dan layak untuk dijadikan renungan bagi kedua mempelai saat menikah. Uborampe dan prosesi temu manten di Jawa bukanlah pepaes tanpa makna. Tetapi prosesi itu memiliki makna mendalam dan luhur yang jarang diketahui orang. Artikel ini membahas tentang makna filosofis uborampe dan prosesi pernikahan Jawa. Penelitian ini menggunakan gabungan antara field-research dengan library research. Hasil penelitian ini ada dua, yaitu makna filosofis dari prosesi acara dan makna filosofis dari uborampe yang digunakan pada saat acara tersebut. Pertama, makna filosofis dari prosesi yaitu: Asraqal adalah sambutan bagi calon pemimpin baru atau raja baru. Balangan suruh menandakan orang yang dituju dengan ketulusan niat; menginjak telur memiliki makna ‘memecah keperawanan’ supaya memiliki anak; mencuci kaki suami memiliki makna kesucian lahir batin dan membawa nama harum keluarga; berjabat tangan menyilang sebagai simbol ikatan yang kuat. Diberi minum air kendi memberikan makna supaya selalu ingat kepada yang memberi penghidupan; sembah sungkem memberikan makna minta restu kepada orang tua; dahar kembul memiliki makna dinikmati bersama apapun pahit-manisnya hidup. Kacar-kucur memiliki makna suami harus bisa memenuhi kebutuhan lahir batin istrinya. Sedangkan makna filosofis dari uborampe yang identik dalam upacara temu manten adalah gedang rojo memiliki makna sebagai raja; kembar mayang memiliki makna selaras nan indah dari lika-liku kehidupan; bentuk burung dalam kembar mayang memiliki makna jangkauan luas dan kesetiaan; bentuk keris menandakan bahwa pengantin pria mampu melindungi diri dan keluarganya; bentuk walang sebagai simbol agar tidak terjadi halangan; bentuk uler-uleran sebagai simbol adanya hama dalam kehidupan; bentuk payung sebagai simbol melindungi dan mengayomi; daun pohon beringin sebagai simbol rindang dan sejuk. Buah-buahan di kwade sebagai simbol matang dan siap santap. Cengkir yang berada di depan pintu gerbang rumah menandakan sang pengantin sudah siap mengarungi bahtera rumah tangga. Bunga melati yang dikenakan pengantin wanita sebagai simbol kesucian dan keperawanan; dan sajen memiliki simbol ‘damai’ dengan siapapun yang akan mengganggu. |
|
Publisher |
Program Studi Ilmu Tasawuf IAI Pangeran Diponegoro Nganjuk, Jawa Timur
|
|
Date |
2022-01-26
|
|
Type |
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion Peer-reviewed Article |
|
Format |
application/pdf
|
|
Identifier |
http://ejurnal.iaipd-nganjuk.ac.id/index.php/spiritualis/article/view/348
10.53429/spiritualis.v7i2.348 |
|
Source |
Jurnal Ilmiah Spiritualis: Jurnal Pemikiran Islam dan Tasawuf; Vol 7 No 2 (2021): TASAWUF DAN TRADISI KEAGAMAAN LOKAL; 155-171
Bahasa Indonesia; Vol 7 No 2 (2021): TASAWUF DAN TRADISI KEAGAMAAN LOKAL; 155-171 2797-2585 2442-5907 10.53429/spiritualis.v7i2 |
|
Language |
eng
|
|
Relation |
http://ejurnal.iaipd-nganjuk.ac.id/index.php/spiritualis/article/view/348/215
|
|
Rights |
Copyright (c) 2021 Ahmad Khoiri, Thoriqul Aziz
https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0/ |
|