Menegosiasikan Hukum IslamTentang Kepemilikan Tanah Ke Dalam Pluralisme Hukum Kepemilikan Di Indonesia
KEADABAN
View Archive InfoField | Value | |
Title |
Menegosiasikan Hukum IslamTentang Kepemilikan Tanah Ke Dalam Pluralisme Hukum Kepemilikan Di Indonesia
|
|
Creator |
Syamhudi, Hasyim
|
|
Description |
Hukum kepemilikan tanah di Indonesia sejak dahulu kala berlakustrong legal pluralismekarena rakyat dan masyarakat, tidak hanya menganut undang-undang pokok Agraria (UUPA) 1960, sebagai hukum Negara, tetapi juga menganut hukum agama dan hukum adat yang banyak bertebaran di berbagai penjuru negeri ini. Pada zaman kerajaan Mataram Islam, kepemilikan tanah dikuasai oleh seorang raja yang diyakini sebagai wakil Tuhan di dunia. Sebagai wakil Tuhan pencipta bumi, raja memiliki kekuasaan penuh atas teretorial kekuasaannya dan karenanya ia memiliki kewenangan untuk mengatur dan mendistribusikan tanah kepada rakyatnya sebagai hak pakai dan hak guna usaha. Sebagai pembuktian adanya hak pakai atau hak usaha oleh rakyat, raja mengeluarkan sertifikat yang berbuni Hanggaduh Kagungani Sinuwun atau meminjam milik raja. Dari sertifikat ini dipahami bahwa rakyat secara hukum, tidak mempunyai hak kepemilikan, hak kepemilikan berada di pangkuan raja. Hukum kepemilikan tanah seperti tersebut di atas terus berjalan sampai akhirnya kolonialisme Barat melakukan ekspansi penjajahan di negeri ini. Pada zaman kolonialisme, hukum kepemilikan tanah mengikuti hukum yang merupakan hasil dari produk kolonialisme Barat.Sebagai kolinalis, dipastikan segala produk peraturan dan hukum yang dihasilkannya adalah, tidak untuk kepentingan daerah jajahan, tetapilebih banyak untuk kepentingan yang menguntungkan kerajaan Belanda, seperti hak Eigendom, hak Erfpacht, hak Opstal dan hak Gebruik. Sejak bangsa ini memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa ini segera mengatur dirinya sendiri.Kepemilikan atas tanah dipijakkan kepada hasil dari produk hukum pertama sejak kemerdekaan, yaitu Undang-undang pokok agrarian yang dikenal dengan UUPA/1960.Namun demikian, dengan lahirnya undang-undang ini, bukan berarti hukum hak atas kepemilikan tanah yang lain, seperti hukum agama khususnya agama Islam dan hukum adat, menjadi hilang, tetapi semuanya masih terasa kental dalam tata kehidupan masyarakat.Apalagi dalam sistem kehidupan berbangsa dan bernegara negeri iniyang berdasarkan pancasila, keberadaan local wisdom atau kearifan lokal diakui sebagai bagian dari budaya bangsa.Di samping itu keberadaan daerah khusus seperti Jogyakarta dan Aceh, tentu mempunyai kekhasan tersendiri dalam hukum kepemilikan tanah yang berbeda dengan UUPA/1960. Beranika ragamnya hak hukum kepemilikan atas tanah di negeri ini, secara keseluruhan berkoeksistensi sebagai strong legal pluralisme, sehingga negosiasi hukum Islam akan menjadi lebih mudah.
|
|
Publisher |
KEADABAN
|
|
Contributor |
—
|
|
Date |
2019-12-30
|
|
Type |
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion Peer-reviewed Article |
|
Format |
application/pdf
|
|
Identifier |
https://ejournal.unuja.ac.id/index.php/keadaban/article/view/914
|
|
Source |
KEADABAN; Vol 1, No 1 (2019): Reformulasi Hukum Pertanahan:Menggagas Tata Kelola Agraria Berkeadilan; 49-68
|
|
Language |
eng
|
|
Relation |
https://ejournal.unuja.ac.id/index.php/keadaban/article/view/914/491
|
|
Rights |
Copyright (c) 2020 KEADABAN
|
|