STUDI KOMPARASI PENDAPAT MAZHAB HANAFI DAN MAZHAB SYAFI’I TENTANG HUKUM ISTRI PASCA MULA’ANAH
AL MAQASHIDI
View Archive InfoField | Value | |
Title |
STUDI KOMPARASI PENDAPAT MAZHAB HANAFI DAN MAZHAB SYAFI’I TENTANG HUKUM ISTRI PASCA MULA’ANAH
|
|
Creator |
Kuswanto, Bambang
|
|
Subject |
Istri
Hukum Mula‟anah |
|
Description |
Li‟an ialah sumpah yang diucapkan oleh suami ketika ia menuduh istrinyaberbuat zina dengan empat kali kesaksian bahwa ia termasuk orang yang benar dalamtuduhannya. Kemudian pada sumpah kesaksian kelima disertai persyaratan bahwa iabersedia menerima laknat Allah jika ia berdusta. Semua mazhab sepakat atas wajibnyaberpisah bagi kedua orang tersebut sesudah mereka berdua bermula‟anah tetapi merekaberbeda pendapat tentang apakah si istri menjadi haram selamanya bagi suaminya,dalam arti dia tidak boleh lagi melakukan akad nikah sesudah mula’anah tersebut,bahkan sesudah si suami mengakui sendiri bahwa yang dia tuduhkan itu sebenarnyadusta belaka. yang menjadi pertanyaan apakah haram secara temporal, dan dia bolehmelakukan akad kembali dengan istrinya itu sesudah dia mengakui kedustaannya?.Dalam hal ini Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi’i memiliki beberapa persamaan danperbdaan pendapat.Persamaannya adalah kedua Mazhab sama-sama sepakat bahwasanya wajibberpisah bagi suami istri sesudah mereka berdua bermula‟anah. Mazhab Hanafi danMazhab Syafi’i juga sepakat bahwasanya Mula’anah tidak jadi dilaksanakan jika tidakada syarat-syarat seperti: a) Orang yang dituduh berzina istrinya sendiri, b) Suami tidakmempunyai saksi dalam tuduhannya, c) Istri membantah apa yang dituduhkankepadanya, d) Tuduhannya itu khusus tuduhan zina atau tidak mengakui anak yangdikandung istrinya. Sedangkan perbedaan pendapat kedua Mazhab terletak dalam halstatus hukum istri pasca mula‟anah. Menurut Mazhab Hanafi bagi Suami Istri yangtelah bermula‟anah jika suaminya sudah mengakui bahwa ia berdusta dalamtuduhannya, dan si istri mengakui kebenaran ucapan si suami maka mereka dibolehkanmenikah kembali. Karena dasar haramnya untuk selama-lamanya bagi mereka adalahsemata-mata tidak dapat menentukan mana yang benar dari suami istri yangbermula‟anah tersebut padahal sudah jelas salah satunya pasti ada yang berdusta.Karena itu jika telah terungkap rahasia tersebut, maka keharaman selama-lamanya jaditerhapus. Sedangkan Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa istrinya itu menjadi haram diakawini untuk selama-lamanya, sekalipun dia telah mengakui bahwa dirinya telahberdusta. Jika suami mengakui dirinya berdusta ketika menuduh istrinya berzina, makahal ini tidak membuatnya dapat kembali kepada ikatan pernikahan, dan tidak membuathilang pengharaman yang bersifat abadi karena perkara ini adalah hak untuk suami, dandia telah batalkan haknya dengan perbuatan mula‟anah. Oleh karena itu, tidak mungkinbaginya untuk kembali bersama lagi.
|
|
Publisher |
Institut Agama Islam (IAI) Sunan Giri Bojonegoro Jawa Timur
|
|
Date |
2020-12-31
|
|
Type |
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion Peer-reviewed Article |
|
Format |
application/pdf
|
|
Identifier |
https://ejournal.sunan-giri.ac.id/index.php/ALMAQASHIDI/article/view/350
|
|
Source |
AL MAQASHIDI; Vol. 3 No. 2 (2020): Al Maqashidi : Jurnal Hukum Islam Nusantara; 63-71
2623-0399 2620-5084 |
|
Language |
eng
|
|
Relation |
https://ejournal.sunan-giri.ac.id/index.php/ALMAQASHIDI/article/view/350/282
|
|
Rights |
Copyright (c) 2020 AL MAQASHIDI
https://creativecommons.org/licenses/by/4.0/ |
|